Minggu, 19 Maret 2017

KASUS ETIKA BISNIS



PT Sontang Sawit Permai adalah perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit yang berada di Kecamatan Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Seharusnya setiap perusahaan harus menjadi panutan dan berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan bangsa. Serta untuk mencapai pertumbuhan usaha yang berkelanjutan, perusahaan juga harus memberikan manfaat terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun pada kenyataannya masih banyak kasus dimana PT Sontang Sawit Permai merugikan masyarakat yang tidak mencerminkan tujuannya mensejahterakan bangsa. Seperti yang dilansir pada KOMPAS.com sebagai berikuit:

PEKANBARU, KOMPAS — Dua perusahaan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Provinsi Riau, yaitu PT SSP (Kabupaten Rokan Hulu) dan PT WSSI (Siak), ditetapkan sebagai tersangka kejahatan lingkungan oleh Kepolisian Daerah Riau.
Perusahaan tersebut diduga melakukan pembakaran dengan sengaja atau lalai dalam pencegahan kebakaran.
"Untuk PT WSSI, selain korporasi sebagai tersangka, kami juga menetapkan direktur utama perusahaan itu, OA, sebagai tersangka. Adapun untuk PT SSP kami baru menetapkan korporasinya sebagai tersangka," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Komisaris Besar Rivai Sinambela kepada pers, di Pekanbaru, Rabu (14/9/2016) sore.
Menurut Sinambela yang didampingi Kepala Bidang Humas Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo dan Kepala Subdirektorat IV Reskrimsus Ajun Komisaris Besar Ariwiyawan, modus membakar yang dilakukan dua perusahaan itu, yakni membuka areal baru. Luas lahan terbakar pada PT WSSI mencapai 80 hektar dan PT SSP 40 hektar.
"Lahan yang terbakar merupakan lahan kosong yang sudah siap tanam," kata Rivai.
Dugaan kesengajaan dibakar di areal PT SSP lebih jelas. Perusahaan itu membuka lahan gambut dengan mengatur kanal yang disekat pada blok-blok berukuran sekitar 20 hektar. Pengaturan membuat kebakaran hanya terjadi pada blok tertentu, yaitu blok 18 dan 19.
"Untuk penyelidikan kebakaran pada lahan korporasi ini, kami mengikutsertakan Kementerian lingkungan hidup dan Kehutanan. Tim ini akan melakukan pengecekan ke lapangan bersama tim ahli," kata Rivai.
Rivai menambahkan, setelah menetapkan sebagai tersangka, pihaknya segera melakukan pemberkasan perkara. Ia berjanji tidak akan ada lagi penghentian penyidikan seperti terhadap 15 perusahaan yang dilakukan sebelumnya.
"Saya ingin menjelaskan bahwa SP3 itu dibuat oleh direktur (Direskrimsus) sebelum saya. Di zaman saya tidak akan ada SP3. Polda Riau tidak main-main dalam kasus kebakaran lahan," kata Rivai Sinambela. Kamis, 15/09/2016

Dari kasus diatas para tersangka terancam pasal berlapis yakni Pasal 78 UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Kemudian Pasal 4 UU RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan dengan ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar serta Pasal 108 UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10 miliar.


Selain itu ada beberapa perusahaan lain yang memanfaatkan penduduk lokal untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara membakar lahan. Sementara, pembakaran lahan oleh penduduk lokal dilindungi dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lahan dan Hutan. Seperti yang dikatakan Dosen Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero bahwa proses awal yang membakar lahan adalah masyarakat setempat. Masyarakat menyebut bahwa lahan yang dibakar itu merupakan miliknya. Hal itu dilakukan agar korporasi tidak terjerat kasus saat ada investigasi yang dilakukan oleh peneliti. Namun berselang enam bulan kemudian, lahan yang awalnya milik masyarakat sudah berpindah kepemilikan oleh korporasi.

Kejadian kebakaran hutan dan lahan terjadi di area hutan produksi dan terjadi sangat masif yang berdampak pada polusi udara, gangguan penyakit, hingga meluasnya asap ke negara lain. Kebakaran hutan dan lahan hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan dan masih terus terjadi. Padahal peristiwa tersebut sangat merugikan masyarakat, merusak alam dan mengganggu hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Pemerintah dan aparat diharapkan mampu menindak tegas para pembakar hutan tanpa kompromi sehingga kebakaran hutan bisa dicegah dan keberadaan ekosistem hutan dapat terjaga kelestariannya demi generasi mendatang. Keadaan karhutla kemungkinan dapat terus berulang setiap tahun atau pelakunya tidak jera berbuat lagi jika sanksi hukumnya terbukti kurang efektif sebagai alat preventif sekaligus represif.

Terkait dengan Etika Bisnis yang bertujuan untuk menjalankan dan menciptakan sebuah bisnis seadil mungkin serta menyesuaikan hukum yang sudah dibuat. PT Sontang Sawit Permai telah melanggar hukum, selain itu perusahaan telah melakukan tindakan yang kurang etis dengan merusak lingkungan dan membuat masyarakat mengalami gangguan pernapasan akibat dari asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan. Terlebih asap tersebut juga mengganggu Negara tetangga. Selain itu PT Sontang Sawit Permai tidak mengacu pada prinsip integritas moral yaitu prinsip untuk tidak merugikan orang lain dalam segala keputusan dan tindakan bisnis yang diambil.

Pada teori teologi ada filosofi yang menggambarkan keadaan dalam kasus ini, yaitu Egoisme. Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. PT Sontang Sawit Permai mengejar kepentingan perusahaannya dengan memperluas lahan perkebunan kelapa sawit namun perluasan lahan tersebut menggunakan cara yang salah, yaitu dengan membakar hutan.

Saran Penyelesaian Kasus:
Ketika ada hukum yang dilanggar maka pemerintah dan pihak yang berwenang harus mengambil tindakan tegas agar pelanggar jera sehingga kejadian tersebut tidak terulang kembali. Membakar hutan bukan merupakan satu-satunya cara untuk perluasan lahan perkebunan. Jadi perusahaan dapat menggunakan cara lain untuk memperluas lahan, walau pun dengan biaya yang sedikit lebih banyak. Setidaknya perusahaan tidak merugikan masyarakat umum terlebih Negara tetangga, yang berkemungkinan dapat membuat hubungan dengan Negara tersebut menjadi buruk.

Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar