PT Sontang Sawit Permai adalah
perusahaan pengelola perkebunan kelapa sawit yang berada di Kecamatan Bonai Darussalam,
Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Seharusnya setiap perusahaan harus menjadi panutan
dan berkontribusi untuk pembangunan dan kesejahteraan bangsa. Serta untuk
mencapai pertumbuhan usaha yang berkelanjutan, perusahaan juga harus memberikan
manfaat terbaik bagi seluruh pemangku kepentingan. Namun pada kenyataannya
masih banyak kasus dimana PT
Sontang Sawit Permai merugikan masyarakat yang
tidak mencerminkan tujuannya mensejahterakan bangsa. Seperti yang
dilansir pada KOMPAS.com sebagai
berikuit:
PEKANBARU, KOMPAS — Dua perusahaan perkebunan kelapa
sawit yang berlokasi di Provinsi Riau, yaitu PT SSP (Kabupaten Rokan Hulu) dan
PT WSSI (Siak), ditetapkan sebagai tersangka kejahatan lingkungan oleh
Kepolisian Daerah Riau.
Perusahaan tersebut diduga melakukan
pembakaran dengan sengaja atau lalai dalam pencegahan kebakaran.
"Untuk PT WSSI, selain
korporasi sebagai tersangka, kami juga menetapkan direktur utama perusahaan
itu, OA, sebagai tersangka. Adapun untuk PT SSP kami baru menetapkan
korporasinya sebagai tersangka," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus
Polda Riau Komisaris Besar Rivai Sinambela kepada pers, di Pekanbaru, Rabu (14/9/2016)
sore.
Menurut Sinambela yang didampingi
Kepala Bidang Humas Ajun Komisaris Besar Guntur Aryo Tejo dan Kepala
Subdirektorat IV Reskrimsus Ajun Komisaris Besar Ariwiyawan, modus membakar
yang dilakukan dua perusahaan itu, yakni membuka areal baru. Luas lahan
terbakar pada PT WSSI mencapai 80 hektar dan PT SSP 40 hektar.
"Lahan yang terbakar merupakan
lahan kosong yang sudah siap tanam," kata Rivai.
Dugaan kesengajaan dibakar di areal
PT SSP lebih jelas. Perusahaan itu membuka lahan gambut dengan mengatur kanal
yang disekat pada blok-blok berukuran sekitar 20 hektar. Pengaturan membuat
kebakaran hanya terjadi pada blok tertentu, yaitu blok 18 dan 19.
"Untuk penyelidikan kebakaran
pada lahan korporasi ini, kami mengikutsertakan Kementerian
lingkungan hidup dan Kehutanan. Tim ini akan
melakukan pengecekan ke lapangan bersama tim ahli," kata Rivai.
Rivai menambahkan, setelah
menetapkan sebagai tersangka, pihaknya segera melakukan pemberkasan perkara. Ia
berjanji tidak akan ada lagi penghentian penyidikan seperti terhadap 15
perusahaan yang dilakukan sebelumnya.
"Saya ingin menjelaskan bahwa
SP3 itu dibuat oleh direktur (Direskrimsus) sebelum saya. Di zaman saya tidak
akan ada SP3. Polda Riau tidak main-main dalam kasus kebakaran lahan,"
kata Rivai Sinambela. Kamis, 15/09/2016
Dari kasus diatas para tersangka
terancam pasal berlapis yakni Pasal 78 UU RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dengan ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling
banyak Rp5 miliar. Kemudian Pasal 4 UU RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Perkebunan dengan ancaman pidana penjara 10 tahun dan denda paling banyak Rp10
miliar serta Pasal 108 UU RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dengan diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan
paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp3 miliar dan paling banyak Rp10
miliar.
Selain itu ada beberapa perusahaan lain yang
memanfaatkan penduduk lokal untuk membuka lahan pertanian baru dengan cara
membakar lahan. Sementara, pembakaran lahan oleh penduduk lokal dilindungi
dalam pasal 69 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lahan dan Hutan. Seperti yang dikatakan Dosen Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor (IPB), Bambang Hero bahwa proses awal yang membakar lahan
adalah masyarakat setempat. Masyarakat menyebut bahwa lahan yang dibakar itu
merupakan miliknya. Hal itu dilakukan agar korporasi tidak terjerat kasus saat
ada investigasi yang dilakukan oleh peneliti. Namun berselang enam bulan
kemudian, lahan yang awalnya milik masyarakat sudah berpindah kepemilikan oleh
korporasi.
Kejadian kebakaran hutan dan lahan
terjadi di area hutan produksi dan terjadi sangat masif yang berdampak pada
polusi udara, gangguan penyakit, hingga meluasnya asap ke negara lain.
Kebakaran hutan dan lahan hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan dan
masih terus terjadi. Padahal peristiwa tersebut sangat merugikan masyarakat,
merusak alam dan mengganggu hubungan Indonesia dengan negara tetangga.
Pemerintah dan aparat diharapkan mampu menindak tegas para pembakar hutan tanpa
kompromi sehingga kebakaran hutan bisa dicegah dan keberadaan ekosistem hutan
dapat terjaga kelestariannya demi generasi mendatang. Keadaan karhutla
kemungkinan dapat terus berulang setiap tahun atau pelakunya tidak jera berbuat
lagi jika sanksi hukumnya terbukti kurang efektif sebagai alat preventif
sekaligus represif.
Terkait
dengan Etika Bisnis yang bertujuan untuk menjalankan dan menciptakan sebuah
bisnis seadil mungkin serta menyesuaikan hukum yang sudah dibuat. PT Sontang Sawit Permai telah
melanggar hukum, selain itu perusahaan telah melakukan tindakan yang kurang
etis dengan merusak lingkungan dan membuat masyarakat mengalami gangguan
pernapasan akibat dari asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan dan lahan.
Terlebih asap tersebut juga mengganggu Negara tetangga. Selain itu PT Sontang
Sawit Permai tidak mengacu pada prinsip integritas moral yaitu prinsip untuk
tidak merugikan orang lain dalam segala keputusan dan tindakan bisnis yang
diambil.
Pada teori teologi ada filosofi yang
menggambarkan keadaan dalam kasus ini, yaitu Egoisme. Inti pandangan egoisme
adalah bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar
pribadi dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral
setiap orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. PT
Sontang Sawit Permai mengejar kepentingan perusahaannya dengan memperluas lahan
perkebunan kelapa sawit namun perluasan lahan tersebut menggunakan cara yang
salah, yaitu dengan membakar hutan.
Saran
Penyelesaian Kasus:
Ketika
ada hukum yang dilanggar maka pemerintah dan pihak yang berwenang harus
mengambil tindakan tegas agar pelanggar jera sehingga kejadian tersebut tidak
terulang kembali. Membakar hutan bukan merupakan satu-satunya cara untuk
perluasan lahan perkebunan. Jadi perusahaan dapat menggunakan cara lain untuk
memperluas lahan, walau pun dengan biaya yang sedikit lebih banyak. Setidaknya
perusahaan tidak merugikan masyarakat umum terlebih Negara tetangga, yang
berkemungkinan dapat membuat hubungan dengan Negara tersebut menjadi buruk.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar